Dendang Perempuan Pendendam
Laksana gagak lapar, sudah sejak lama aku menunggu kematiannya, untuk mengobati kepedihan hatiku. Dendamku takkan pernah kehilangan isi, meskipun dia masih punya hubungan darah dengan kami. Dia adik Ayah kami semua. Namun, aku ingin melihat jasad Pakde Suto tak bisa dimasukkan ke dalam keranda. Peti matinya beberapa kali harus dibongkar-pasang karena kurang panjang. Dan, di pemakaman aku ingin menyaksikan kutuk terhadap dia yang merampas tanah keluarga kami yang tak berayah, dengan menggeser pematang secara licik.
OLEH: MARTIN ALEIDA
Kejahatan itu berlangsung sangat perlahan, seperti tak pernah terjadi. Namun, pematang sawah tak pernah lupa mencatat kelakuan busuknya. Pakde Suto telah mencaplok sawah Ibuku dua kali seratus meter bujur sangkar dalam masa hampir empat puluh tahun. Empat puluh tahun!
Dia menelan kekayaan Ibu satu-satunya separtikel lumpur demi separtikel lumpur. Saat menyiangi sawah, dengan liciknya Pakde membiarkan lumpur yang dia lemparkan ke atas pematang melimpah ke sawah Ibu. Diganggang matahari, limpahan lumpur itu lantas mengering, dan dengan begitu menggeser pematang.
Ibu tak mau mengadukan penjarahan itu dalam rapat desa. Juga tak pernah mau mengungkit-ungkitnya dalam percakapan di rumah. Dia selalu berusaha menenteramkan perasaan kehilangan yang bergejolak di dalam hati anak-anaknya. Juga di dalam hatinya sendiri. Dia memilih diam untuk menghindari pertikaian, karena dia tahu, kematian suaminya, Ayah kami, masih saja dianggap sebagai keniscayaan, karena keterlibatan Ayah dalam pematokan tanah para tuan tanah dengan berlindung di balik undang-undang pokok agraria yang berlaku ketika itu. Ketika aku berusia belasan.
Gerimis menyudahi dirinya. Membuat malam membeku sendiri. Emprit ganthil, yang sejak subuh menyayat-nyayatkan isyarat kemalangan, sudah terbang meninggalkan bubungan rumah Pakde Suto. Kudengar suara seperti daun yang gemersik di pekarangan. Kemudian isak tangis yang mengalun dari mereka yang tak kuasa menampik kematian. “Mengucaplah Suto...!” kata-kata itu diulang berkali-kali, diiringi sedu-sedan, dilantunkan ke kuping Pakde yang meregang di kepung maut.
Raut kematian kemudian menggunung dari rumah Pakde. “Oh, Gusti....” Para pelayat menyelinap ke ruang tengah, tempat jasad Pakde terkapar. Di jalan terdengar langkah yang tergopoh menuju rumah kematian. Kentonga titir di persimpangan jalan ditalu satu-satu.
Dia sudah mati. Tapi, apakah nasib Ibu kami akan berubah? Kalaupun nanti pematang yang menjarah sawah Ibu sudah di gempur, dan Ibu bisa menuai panen di sawah seluas ketika dia baru menikah dengan Ayah, namun sakit hati ini tetap tak terdamaikan. Sakit hatiku, hati kami semua, tidak hanya sebatas pematang itu. Karena Pakde Suto-lah Ayah kami mati bukan dengan jalan sebagaimana halnya dia sendiri menemui maut di ruang tengah rumahnya, tetapi dengan kepala dienggal dan di campakkan seperti bangkai tikus.
Takkan tekikis dari ingatanku. Di akhir tahun kekacauan, kebinggungan, dan penuh ketakutan, 1965, Ayah tinggal berpindah-pindah, menghindar dari kajaran benggolan-benggolan yang dikirimkam kaun tuan tanah, yang tanahnya dipatok dan dibagi-bagikan Ayah kepada petani tak bertanah. Tentara, dengan diiringi gerombolan pemuda, tiada terhitung berapa kali menggeledah rumah kami seraya membentak dan mengancam Ibu. Penampungan kotoran yang baru dibuat Ayah, dituduhkan tentera sebagai lubang penguburan manusia.
Suatu malam, Ayah menginap di rumah Pakde Samin. Paginya, setelah Ayah berangkat entah ke mana, Pakde Suto mendatangi rumah adiknya itu dan mengancam, “Kalau koé lain kali berani menyimpan Paijan, koé akan kubunuh!” Siangnya, tentara menggedor rumah Pakde Samin, dan dia digelandang ke dalam jip. Di markas tentara dia disiksa hingga beberapa kali tak sadarkan diri. Dia selamat dari maut setelah menceritakan bahwa dari rumahnya Ayah berangkat ke Semarang berjualan kacang tanah di salah satu pasar di kota itu. Selang beberapa hari kemudian, dua jip tentara datang membawa ketakutan yang mencekam. Dengan cara yang sangat menghinakan, mereka mendorongkan Ayah yang matanya tertutup kain merah, turun dari jip. Ayah dipertontokan di depan rumah Pakde Samin, dan orang sedesa diperingatkan tentara yang mengacungkan pistol, “Barangsiapa yang berani menyimpan orang macam ini, mati!”
Ayah diarak ke rumah kami. Kesembilan penghuni rumah dipaksa keluar. Ah, betapa pedih melihat Ayah dengan tangan terikat ke belakang, mata tertutup. Ibu, sambil menggendong adikku yang terkecil, dan kami anak-anak yang lain, hanya merunduk nenatap kerikil-kerikil kecil di pekarangan, mencari kekuatan di situ, tak kuasa melihat orang yang kami cintai diperlakukan sebagai seorang yang bejat.
Berminggi-minggu kemudian, sampailah berita yang tak bisa dipastikan kebenarannya, tapi karena Ayah tak pernah kami lihat lagi, maka kami memercayai kabar burung itu. Konon, Ayah digiring ke atas jembatan yang menghubungkan kedua tebing Bengawan Solo. Di bawah todongan pistol, Ayah diperintahkan bersujud, mata tertutup. Begitu dia dibentak supaya duduk kembali, dan manakala dadanya belum tegak benar, seorang pemuda melayangkan sebilah parang panjang ke tengkuknya, dan kepala Ayah, (Oh, Tuhan... aku takkan bisa memberi ampun kepada mereka yang telibat dalam pembantaian tiada tara dosanya itu!) kapala Ayah terpelanting ke bawah, dan dengan cepat tubuhnya ditendang menyusul kepalanya yang lebih dulu mencebur.... Ah, pantaskah sebuah peradaban memberikan ajal serupa itu kepada Ayah kami?!
Ibu, kami anak-anak, sembunyi-sembunyi membeli bunga ke pasar, supaya tak ada orang desa yang melihat, dan kami pergi ke jembatan di mana Ayah kami yakini menemukan kematiaannya. Kami larungkanlah bunga yang kami bawa agar aromanya membuat semerbak dunia di mana Ayah sekarang berada. Bunga-bunga itu menggambang, cepat dilarikan arus, mencari Ayah, kami kira.
Tak pernah kubayangkan, ziarah akan mencabuk hidupku. Setelah menikah, suamiku mengajak aku ke kampung kelahirannya di Sumatera. Di tuntunnya aku berziarah ke makam orangtuanya. Sepulangnya dari ziarah di pulau seberang itu, dia mendesak, mengapa aku tak pernah bertanya, bukankah dia juga igin berziarah, meminta berkah, ke makam Ayahku. Bukannya tak kuberitahukan kepadanya bahwa Ayahku mati terbunuh pada tahun yang membinggungkan, menakutkan. Tak punya kuburan, tak punya nisan. suamiku menjawab dengan kata-kata bersayap, mengharukan. Dia, katanya, takkan pernah menyesal memperistri aku bagaimana hina pun Ayahku menemukan ajal.
Begitulah. Dia kuajak menemui Ibuku di desa. Sebelum menuju bengawan kami terlebih dulu berziarah ke makam kakek-nenekku. Dia tepesona menyaksikan kuburan di pinggir desa itu, di mana salib dan nisan berbaur. Sesuatu, yang katanya, tidak bakal ditemukan di Aceh sana. Katanya, sepantasnyalah nisan Ayahku berada di tengah pemakaman itu, makam yang mempersatukan manakala orang memaknai agama untuk memecah belah.
Ketika tiba di jembatan tempat Ayah dipancung, suamiku berjalan dengan teguh di sampingku. Cuma, Ketika kami menuruni tebing menghampiri bengawan, beberapa kali dia tertegun. Mengikuti aku, dengan tangan gemetar, dia taburkan bunga, ke permukaan bengawan. Setelah itu, kami pulang dan, Oh Tuhan, itulah akhir perkawinan kami. Walaupun tidak dikatakannya, aku tahu nisan bagi suku bangsanya adalah tanda bagi pokok kehiduapan satu keturunan. Tanpa itu, ada semacam nista yang akan selalu melekat. Diperparah lagi dengan kenyataan behwa setelah perkawinan kami yang memasuki tahun kelima, dan aku belum hamil juga, maka lengkaplah alasan suamiku untuk dengan baik-baik meminta maaf, karena dia terpaksa pergi meninggalkanku.
***
Pukul dua siang sekarang. Sama seperti ketika menjemput maut, maka pada saat jasad Pakde Suto diberangkatkan ke pemakaman pun, gerimis mendesah dari langit.
Peti matinya diusung menuju pemakaman, dua ratus meter ke arah bengawan.
Angin yang menerabas gerimis membisikkan ke kupingku tentang awal dari keributan di antara penggali liang kubur. Suara-suara itu kemudian senakin nyata. “Turunkan dulu. Letakkan di tanah. Gali lagi tanah di sebelah kepala...” Pacul, linggis, bertubi-tubi ditancapkan ke tanah. “Coba angkat! Letakkan!Cukup...?” kaki-kaki berkecipak di tanah liat. Bagian kaki dari liang lahat itu sekarang dapat giliran digali, diperlebar, membukakan gerbang petala bumi bagi sesosok jasad yang sedang menelan sumpah. Kedua sisi, dari mana mayat akan diluncurkan, juga dicangkuli, diperlebar nganganya. Setelah berkali-kali liang itu diperbesar, dan peti mati tetap saja tak bisa diturunkan, maka mendengunglah keputusan: “Gusti... Engkau yang maha pengampun, maafkanlah umatmu ini. Tunjukkan apa yang harus kami lakukan. Tolong terimalah saudara kami ini....” Keranda diangkat dan diamangkan lagi di mulut liang lahat yang sudah diperlebar. Sia-sia.
“Sudah berapa kali kami menggali, tapi tak bisa juga, Gusti...! Ingin berapa kali lagi Gusti? Ampun...” Bingung juga panik, sarat di wajah para pengantar terutama mereka yang menggali berlumur tanah.
Dua orang pengantar jenazah melepaskan diri dari kebingungan dan kecemasan yang mengerubung di mulut liang lahat. Mereka bergegas ke perempatan jalan desa. Seperti mengutuk diri sendiri, mereka berbicara dengan keras ke arah sekeliling. “Ampun...Barangsiapa yang pernah dirugikan Pakde Suto, sudilah kiranya memaafkan. Ampunilah, biar Gusti mau menerimanya.”
Kuhela nafas. Dari celah dinding tepas, kulihat sekelompok perempuan merapat ke rumah. Ibu keluar menemui mereka di beranda. Kudengar kata-kata permohonan yang mereka ucapkan dengan nada begitu rendah, seperti berbisik, mengiba-iba, diiringi isak tangis. Dengan kepala tertunduk, perempuan-perempuan itu kemudian menarik diri.
“Las...,” bujuk Ibu lunglai di bendul pitu kamarku. “Orang-orang menunggumu di pekuburan,” katanya menunduk. Aku tahu dia ingin aku yang datang ke tengah kerumunan orang yang kebingungan untuk membukakan pintu maaf buat mayat seorang musuh yang masih sedarah dengan Ayah. “Kami pasrah. Kau yang jadi kunci. Kalau kau maafkan, orang sedesa akan tahu siapa kita.” Kat-kata Ibu itu membuatku melangkah menyibak gerimis.
Laki-laki yang memonopoli kehormatan tunggal dalam mengantar jenazah, terpaksa mendobrak adat kebiasaan, menguak membukakan jalan untukku. Aku maju dengan dada tegak, mendekati peti mati, meminta pengusung jenazah membukakan tutup keranda. Dengan jijik kucabik kafan penutup muka Pakde Suto, dan dengan sebal, “cuih...,” kusemburkan ludahku ke mulutnya. Kain kafan kubebat kembali menutup wajahnya yang pucat kehitaman, beku.
Aku membalik, meninggalkan jejak di tanah bash. Babarapa saat kemudian, kudengar lenguh nafas lega, serta gemuruh gumpalan tanah menghujani peti mati yang sudah tertidur di dasar kubur.
“Jeng, atas nama jenazah dan keluarganya, kami minta maaf kepadamu.” Itu diucapkan beberapa orang dari keruman manusia yang kupapasi.
Aku cuma membantu, terus menjauh. Terlalu pendek waktu untuk memper-timbangkan sebuah maaf. Karena terlalu lama aku memendam dendam ini....
Medio Februari
LONCENG
Pulang dari rantau tanpa harta adalah semacam aib. Tanpa keluarga adalah hidup yang sia-sia. Keluarga mana yang mau mengaku? Semua mata orang kampung memandang dengan curiga. Lelaki tua ini, apa yang dikehendakinya? Siapa dia sebenarnya? Hanya dengan sebuah koper kecil, ia melenggang masuk desa dan meampir di warung menanyakan seseorang, ya, nama-nama seseorang. Banyak nama yang disebutkan, tetapi orang-orang yang di warung geleng kepala, tidak kenal. “Tanya saja kepada kepala desa,” kata pemilik warung itu, seorang perempuan usia kira-kira tiga puluh lima tahun.
OLEH WILSON NADEAK
Lelaki tua yang nyaris berusia enam puluh tahu itu, walaupun rambutnya belum penuh uban, berjalan menuju desa di atas bukit. Belum beberapa langkah ia berjalan, seseorang berseru dari dalam warung, “He, bayar dulu!”
“Lho, saya toh tidak makan apa-apa,”kata lelaki tua itusambil menoleh ke belakang. Melangkah kembali ke warung itu.
Kalau Bapak dari desa ini, pulang dari rantau pula, mampir diwarung ini,ya, Bapak wajib dong mentraktir kita semua yang ada di sini,” kata seseorang yang kemudian mereguk minuman yang berbuih dari gelasnya.
“Oh, ya,” jawab lelaki tua sambil merogoh kantongnya. “Berapa semua?”
Pemilik warung menyebut jumlah harga makanan dan minuman yang dimakan lima orang yang duduk di warung itu. Lelaki itu membayarnya semua.
“Nah, begitu dong. Itu baru namanya orang rantau!”celetuk seorang anak muda. “Terima kasih,” kata mereka sambil terus mereguk cairan berbuih, putih, dari gelas.
Hari masih siang ketika ia tiba di Desa Bukit, begitu nama desa yang terletak dia atas bukit itu. Kepala desa yang ditemuinya kebetulan baru saja pulang dari kota yang tidak jauh dari bukit itu. Usianya sekitar empat puluhan.
Lelaki tua memperkenalkan diri, bahwa ia dahulu lahir dan tinggal di desa ini. Meninggalkan desa ini ketika usia dua belas tahun dan baru sekali ini pulang kampung. Ia menyebutkan nama-nama keluarganya, ladang dan rumah orangtuanya, dan nama tetangga yang pernah tinggal di dekat rumah mereka. Lama ia bertutur tentang kampung dan peristiwa masa kecil yang pernah dialaminya, sekadar meyakinkan kepala desa bahwa dia memang orang sini. Betapapun, ia menyadari bahwa logatnya asing bagi penduduk desa ini, terlalu lembut.
Kepala desa lebih banyak mendengar. Sebelum ia memberi komentar, seorang ibu denag kapur sirih di tangan sambil mengunyah sesuatu muncul di pintu. Rupanya dari kamar sebelah ia mendengar percakapan mereka.
“Ibu saya,” kata kepala desa.
Lelaki tua itu mengulurkan tangan dan menyebut nama kecilnya. Ibu yang sudah berambut putih semua menatapnya dengan tajam. Ia memegang dahinya yang sudah mengerut, mencoba mengingat-ingat masa lalu. “Dari ceritamu,” kata ibu berambut putih itu,”aku mengingat sesuatu. Masa lalu. Sebagian dari mereka yang kau ceritakan sudah berlalu, sebagian lagi sudah pergi ke rantau. Kaukah salah satu dari mereka itu? Coba sebut namamu sekali lagi, pendengaranku kurang baik.”
“Namaku Barita.”
Hening sejenak. Kepala desa mengamati wajah ibunya, silih berganti dengan wajah lelaki tua.
“Ya, ya. Aku ingat. Ayahmu si anu, bukan?”
“Ya,” jawab Barita, lelaki tua itu.
“Ayah dan ibumu sudah tidak ada. Lama mereka tidak mendengar berita darimu. Saudara-saudara yang lain menyusul mereka, dan katanya, ada yang seorang lagi, adikmu, pergi entah ke mana. Merantau ke seberang lautan. Setelah menjual tanah kalian. Ya, ya, aku ingat kau. Masa sulit waktu itu, masa gerilya. Banyak anak muda yang hilang jejaknya, entah di mana kubur mereka. Dan kau, seorang dari antaranya. Aku ingat, ayahmu sering menyebut-nyebut namamu, nam yang terekam dalam lubuk hatinya, sampai kepada kematian yang menimpanya...”
Tutur nenek berambut putih itu meluncur begitu saja. Kepala desa, anaknya semakin larut dalam kisah masa lalu itu. Ada bayang-bayang air mata di pelupuk mata lelaki tua yang duduk di hadapannya.
“Lalu, kau mau apa Barita?”
“Aku mau tinggal di desa ini. Menghabiskan masa tua, “ jawabnya pelahan. “Dengan siapa?” tanya nenek tua, ibu kepala desa itu.
“Sendiri. Tak punya keluarga lagi.”
“Sendiri,” nenek tua itu mengulangi dengan nada lemah. “Tanahmu?”
“Aku akan menebusnya,” jawab Barita
“Harus ada saksi, Pak,” kata kepala desa.
“Selain bukti bahwa Bapak ahli waris.”
“Semua sudah berlalu, Nak. tinggal aku saksi hidup. Biar ibu yang menjadi saksi.”
BArita sangat berterima kasih. Masih ada orang yang berbaik hati kepadanya. Atas bantuan kepala desa, ia menebus sebidang tanah, ladang peninggalan orang tuanya.
Sebuah rumah di hari tuakah? Tak lebih dari sebuah pondok yang reyot di tengah ladang itu. Tapi ia masih melihat perapian, tempat ibunya memasak. Suudut rumah bagian barat tempat ia berbaring dahulu. Di situlah ia dilahirkan. Itu yang penting. Pondok yamg reyot itu bagian dari hidupnya. Ia memerlukan waktu untuk membersihkan kuburan keluarga di batas ladang. Ada nisan bertuliskan nama ayahnya, sedangkan kubur yang lain tak bernama, batu-batu berserakan di atasnya.
Sebuah gereja tua masih berdiri di atas bukit, tidak begitu jauh dari pondok lelaki itu. Dulu, ia rajin belajar nyanyi di sana. Berdoa dalam kebaktian yang khusyuk. Dan kini, ia kembali ke sana. Tidak satu wajah pun yang dikenalinya. Minggu pertama, orang-orang bertanya tentang dia. Sesudah itu, tidak seorangpun yang memedulikannya. Kalau berjumpa di jalan, orang-orang melihatnya sekilas, kemudian berlalu tanpa membalas sapaan. Hanya anak-anak SD yang suka mampir ke pondoknya yang reyot. Barangkali anak-anak itu mendengar dari orangtua mereka bahwa lelaki yang baru pulang dari rantau itu lama tinggal di seberang. Mereka ingin mrndengarkan kisah-kisah dari seberang. Dan Barita, senang bercerita. Banyak cerita dari berbagai kota Pulau Jawa yang diceritakannya. Kisah-kisah menarik dari adat-istiadat suku bangsa yang hidup di Pulau Jawa. Sekali, anak-anak terkejut melihat sebuah sedan parkir di samping gereja tua. Seorang lelaki diikuti lelaki lain, ia belakang sedang menuju tempat mereka yang sedang mendengar kisah dari kakek Barita.
“Sebentar, anak-anak. Ada tamu datang.”katanya sambil berdiri menyongsong kedua orang itu. Mereka segera berpelukan.
“Bagiamana kau tahu aku di sini?” tanya Barita dalam bahasa Jawa.
“Cerita selintas dari kepala desa, tentang seorang lelaki tua yang pulang dari perantauan, dan kini tinggal di sini.”
“Kau cerita siapa aku?”
“Tidak! Aku ingin lihat sendiri dan berjumpa denganmu. Ajaib, kau ada di sini!”
“Itulah kehidupan.”
“Kau baik-baik saja?”
“Ya.”
“Syukurlah.”
Kurang lebih setengah jam mereka berbincang-bincang di halaman rumah, dalam bahasa Jawa, sehingga anak-anak terbengong-bengong.
***
Menanam ubi kayu hanya sekali. Sesudah itu ia tumbuh sendiri. Tidak merepotkan. Karena itu, ia mau menambah kegiatan dari waktu ke waktu. Ia melamar menjadi koster gereja. Penatua jemaat agak terkejut, tetapi tidak lama kemudian mereka menerima lamaran itu, tanpa upah. Barita mengatakan tidak apa-apa. Hanya ada sebuah permohonannya, ingin menghidupkan kembali lonceng gereja dan membunyikannya setiap jam, dari pukul enam pagi sampai pukul enam petang. Pengurus gereja setuju dengan komentar, “Tapi itu sudah karatan. Puluhan tahun tidak dibunyikan.”
“Tidak apa-apa. Akan saya bersihkan.”
Dan lonceng gereja di bukit berdentang setiap jam. Setiap pukulan menunjuk pada jam. Dua belas kali berarti pukul dua belas. Satu kali berarti pukul satu. Dan itu berjalan enam bulan.
Suatu hari, seorang anak yang suka mendengar cerita Barita, bersama ayahnya duduk di dangau di kebun, di lembah. Mereka hendak menyantap makanan siang ketika mendengar sipongang lonceng gereja. Mereka menghitung dentangan itu, yang memantul dengan jelas, gema di lembah. “Kau menghitung?” tanya sang ayah kepada anaknya. “Ya.” jawab anaknya. “Berapa kali?” tanya ayahnya. “Tiga belas kali dan disusul dentangan kecil”
Anak itu berlari ke atas bukit. Ia ingin tahu apa yang terjadi. Sesampai di gereja itu, telah banyak juga orang berkerumun. Mereka menggotong tubuh lelaki tua menuruni bukit dan menaikkan ke atas mobil terbuka.
Tiba di rumah sakit, perawat memeriksa denyut jantungnya. Tiada
***
Tidak banyak orang yang menunggui jenazahnya di pondok yang reyot itu. Lazimnya, sebelum upacara penguburan, banyak orang yang menunggui. Beberapa orang pengurus gereja membuat peti dan memasukkan tubuh yang sudah kaku itu ke dalamnya. Upacara pemakaman akan segera dilakukan. Anak-anak banyak yang hadir, beberapa orang tua dan orang muda. Upacara singkat diadakan di halaman. Sebelum jenazah diusung ke pekuburan keluarga, tampak ada beberapa bus yang berhenti dekat gereja. Berpuluh-puluh orang berpakaian seragam kantor dan satu pasukan tentara dengan sikap militer berbaris menuju pondok reyot itu. Orang-orang terkejut ketika bupati berjalan di depan diikuti sepasukan tentara yang membawa sebuah potret berbingkai. Bupati berbicara dengan penatua jemaat dan kemudian menceritakan riwayat almarhum Barita di depan khalayak.
“Saudara-saudara sekalian.
Hari ini kita memberangkatkan seorang prajurit pejuang bangsa. Prajurit yang telah mempersembahkan seluruh jiwa raganya untuk nusa dan bangsa. Almarhum barita menghembuskan napas terakhir kemarin. Telah kutelepon anaknya di Amerika, tetapi mereka mengatakan bahwa mereka tidak bisa hadir hari ini. Pak Barita tidak mau ikut anaknya ke Amerika karena ia telah berjuang untuk negara ini dan ingin mati di sini, di kampung halamannya, di sisi ayah bundanya dan kerabat dekatnya.
Saudara-saudara, rakyatku di Desa Bukit,
Kalian harus berbahagia karena seorang pejuang lahir dari desa ini, walaupun ia berjuang di palagan Ambarawa dan sekitarnya. Ia komandanku, saudara-saudara...Seorang komandan yang tak pernah gentar dan selalu ada di garis depan. Dalam sebuah pertempuran, sebutir peluru bersarang di dadanya. Dokter mengatakan behwa peluru itu tidak dapat dikeluarkan tanpa membahayakan nyawanya. Ia kembali sehat, dengan peluru di dada. Ia pensiun dari kemiliteran dengan pangkat kolonel. beberapa waktu yang lalu, ia menitipkan surat-surat penghargaan pemerintah yang diberikan kepadanya. Dan hari ini, kita akan mekamkan dia sesuai dengan permintaannya, di makam keluarga. Ia menampik dimakamkan di makam pahlawan. ia amat mengasihi desa ini.
“Kolonel Barita, terima kasih atas perjuanganmu...”
Bupati menghapus air mata dari pipinya. Ia mendekatkan wajah ke peti dan kemudian undur ketika prajurit membungkus peti itu dengan bendera. Tembakan penghormatan terakhir bergema di udara dari laras senjata prajurit, suara tembakan itu bergema kembali di lembah.
Angin malam yang dingin menyentuh nisan almarhun Kolonel Barita.
Bandung, 31 Oktober 2009